Pertanyaan:
Assalamu’alaikum ustadz, izin bertanya. Apakah ketaatan istri kepada suaminya itu dalam segala perkara? Mohon penjelasannya. Jazakumullah khayran.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, sayyidina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,
Allah ta’ala telah menjadikan para suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An-Nisa: 34).
Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah organisasi rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan” (HR. Ibnu Hibban no.4163. Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no.2411).
Namun ketaatan kepada suami ada batasannya. Ketaatan tersebut tidak boleh dalam perkara maksiat dan perkara yang membahayakan! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq” (HR. Ahmad no.19904, dishahihkan Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad).
Maka dalam perkara maksiat, istri tidak wajib mentaati suaminya. Seperti jika suami meminta istrinya untuk melepas jilbab atau membuka aurat di depan umum, maka tidak boleh taat kepada suaminya dalam masalah ini.
Demikian juga tidak wajib taat kepada suami dalam perkara yang tidak ma’ruf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR. Bukhari no.7257 dan Muslim no.1840).
Yang dimaksud perkara yang ma’ruf adalah perkara yang dianggap baik oleh akal sehat dan syari’at. Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh As Sa’di rahimahullah:
المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه
“Al-ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).
Sehingga tidak wajib taat kepada suami jika diperintahkan untuk melakukan perkara yang membahayakan dan tidak sesuai dengan akal sehat. Seperti jika suami memerintahkan istrinya untuk melukai dirinya sendiri, atau untuk terjun ke jurang, ini tidak wajib ditaati karena termasuk perkara yang membahayakan.
Demikian juga misalnya suami memerintahkan istrinya untuk berjalan jongkok keliling kampung, atau untuk melumuri badannya dengan telur, atau untuk berjoget-joget di depan rumah, maka ini semua tidak wajib ditaati. Karena ketaatan ini hanya dalam perkara yang ma’ruf.
Maka kesimpulannya, wajib taat kepada suami dalam segala perkara baik ibadah maupun muamalah, baik yang disenangi oleh istri ataupun yang tidak disenangi, kecuali dalam perkara maksiat dan perkara yang tidak ma’ruf.
Wajibkah istri taat pada suami dalam perkara khilafiyah?
Ketaatan istri pada suami dalam masalah khilafiyah ijtihadiyah ada rinciannya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama
Dalam masalah khilafiyah, istri meyakini hukumnya wajib atau sunnah, dan pelaksanaannya tidak terkait dan tidak melalaikan hak-hak suami, maka istri tidak wajib taat kepada suami.
Contoh:
Istri ingin mengeluarkan zakat perhiasan, dengan keyakinan itu wajib. Suami berkeyakinan tidak wajib zakat atas perhiasan dan melarang istrinya bayar zakat. Dan urusan pembayaran zakat tidak terkait dengan hak suami. Maka istri tidak wajib menaati suami dalam hal ini.
Kedua
Dalam masalah khilafiyah, istri meyakini hukumnya sunnah, dan pelaksanaannya terkait dengan hak-hak suami atau bisa melalaikan hak-hak suami, maka wajib taat kepada suami jika dilarang.
Contoh:
Istri ingin puasa sunnah, namun dilarang oleh suami. Maka istri wajib taat kepada suami. Karena pelaksanaan puasa terkait dengan hak-hak suami.
Ketiga
Dalam masalah khilafiyah, istri meyakini hukumnya mubah (boleh), maka istri wajib taat kepada suami.
Contoh:
Istri berkeyakinan boleh membuka wajah, tidak wajib pakai cadar. Maka istri wajib taat kepada suami jika diperintahkan memakai cadar.
Keempat
Dalam masalah khilafiyah, istri meyakini wajib, atau haram atau bid’ah, maka istri tidak boleh taat kepada suami jika suami berbeda pendapat.
Contoh:
Istri meyakini wajib menutup wajah di depan non mahram. Sedangkan suami meyakini boleh membuka wajah. Maka istri tidak boleh taat ketika diperintahkan untuk membuka wajah di depan non mahram.
Hendaknya suami lebih diprioritaskan dibanding orang-orang lain
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لو كان يَنْبَغي لأحدٍ أنْ يَسجُدَ لأحدٍ، لأمَرْتُ المرأةُ أنْ تَسجُدَ لزَوجِها
“Andaikan dibolehkan bagi seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya” (HR. At Tirmidzi no.1159, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, no.3490).
Hadits ini menunjukkan bahwa suami memiliki hak paling besar bagi seorang istri, setelah Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits lain, ketika ada sahabiyah mengeluhkan suaminya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam justru bersabda:
انظُري أينَ أنت منهُ فإنَّهُ جنَّتُكِ أو نارُكِ
“Hendaknya engkau perhatikan bagaimana perlakuanmu terhadap suamimu. Karena ia adalah surgamu dan nerakamu” (HR. Al-Hakim no.2769, Al-Baihaqi no.15103, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami).
Bahkan hak suami lebih besar daripada hak orang tua, bagi sang istri. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An-Nisa: 34). Ini menunjukkan bahwa wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya secara mutlak. Taat untuk memberikan pelayanan kepada suami, untuk safar bersama suami, untuk tinggal bersama suami, dan perkara-perkara lainnya. Sebagaimana juga ditunjukkan oleh sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam…. Taat kepada suaminya itu sebagaimana taatnya ia kepada kedua orang tuanya. Karena semua bentuk ketaatan kepada kedua orang tuanya, kini telah berpindah kepada suaminya” (Majmu Al-Fatawa, 32/260-261).
Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/41264-apakah-taat-pada-suami-dalam-segala-hal.html